Oleh: Muhammad Haitami

Matematika adalah pelajaran yang banyak siswa tidak menyukainya. Apakah karenanya maka tingkat korupsi di Indonesia sangat tinggi? Huzzz…. Bukan itu maksud saya!

Tentang ketidak sukaan siswa pada pelajaran matematika lebih disebabkan oleh metoda pengajarannya. Buktinya siswa yang saya ajar banyak yang suka dan antusias. Bahkan mereka berseloroh, “Gak ada lagi soal yang lebih sulit, kok gampang semua!”

Matematika mengajar siswa berfikir secara terstruktur. Misalkan dalam sebuah soal ada berbagai macam operasi hitungan maka harus difikirkan mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

Pada contoh soal ini dikerjakan dulu (50:5), kemudian (7*3), kemudian (10+21) dan terakhir (31-1=30). Terlihat siswa diajar mengerjakan soal secara terstruktur. Mengerjakan bagian yang mana terlebih dahulu, dilanjutkan yang mana, dilanjutkan lagi yang mana, dst.

Dengan banyak berlatih siswa akhirnya lancar mengerjakan soal. Saya katakan: kalau guru memberi contoh sebuah soal, maka siswa harus berlatih dengan 10 soal. Carilah contoh-contoh soalnya di Google.

Sebuah contoh lagi,

Bagi siswa yang jarang berlatih, boleh jadi dengan mudah dia akan memilih jawaban yang ada. Tidak ada bedanya memilih a, b, c, d atau e; karena memang tidak tahu jawaban mana yang benar. Namun bagi yang sering berlatih soal maka ia akan ingat bahwa: 36 pangkat setengah adalah akar 36, 100 pangkat setengah adalah akar 100, dst. Jadi soal tersebut dapat diselesaikan dengan cara berikut.

Belajar matematika tidak bisa diawang-awang, apalagi sambil tiduran. Harus duduk di kursi, menghadap meja dan siapkan kertas dan pena. Sekiranya siswa masih kesulitan diberi tugas mandiri, saya sering mengorbankan jam pelajaran untuk melatih siswa mengerjakan soal.

Dengan banyak berlatih mengerjakan soal maka siswa akan mendapatkan pengalaman bahwa matematika itu mudah dan menyenangkan. Akhirnya siswa akan ‘enjoy’ saat diajak berpindah ke topik atau bahasan yang lain.

Selama ini guru dituntut menyampaikan banyak pokok bahasan sedangkan dalam setiap pembahasan terkadang hanya 5-10 siswa yang faham. Akhirnya hanya siswa itulah yang dikenal sebagai pandai matematika, sedangkan yang lain tetap tertinggal.

Saya juga menghindari memberi soal dengan jawaban pilihan ganda. Saya masih menekankan soal uraian (essay) karena dapat dilihat di bagian mana siswa faham atau tidak faham. Dari hal-hal seperti inilah dapat diketahui bagian mana yang harus dibahas ulang sehingga semua siswa faham.

Matematikan dan Pencegahan Korupsi

Mengapa saya mengaitkan belajar matematika dengan perilaku korupsi? Karena belajar matematika menjadikan siswa berfikir terstruktur. Pola pikir inilah yang menjauhkan seseorang dari niat korupsi.

Perbuatan korupsi saya identifikasi sebagai perbuatan mencari jalan pintas, mengabaikan proses, menabrak aturan, tidak mau susah payah dsb. Korupsi di Indonesia saat ini sudah sangat memprihatinkan, nilainya sampai tingkat trilyunan seperti pada kasus Jiwasraya, Asabri.

Perbuatan korupsi jelas sangat merugikan rakyat. Kesejahteraan rakyat terhambat karena dana-dananya dikorupsi. Anggaran untuk perbaikan jalan dikorupsi sehingga jalan cepat rusak, kendaraan yang lewat pun juga cepat rusak.

Seseorang yang mau berfikir terstruktur diharapkan menjadi manusia dengan tipe mau bersusah payah, taat pada aturan, tidak main terobos mencari jalan pintas. Saat menjadi pejabat dia akan taat pada aturan, tidak menggunakan fasilitas yang bukan haknya, menapaki jenjang karier sebagaimana mestinya. Goal-nya adalah tidak korupsi.

Boleh jadi hal ini baru sebatas harapan dan perlu dukungan unsur-unsur lainnya. Bisa juga dikatakan menyederhanakan masalah. Tidak salah juga karena setiap masalah besar dimulai dari hal-hal sederhana.

Namun harus disadari, mengajarkan etos kerja keras, mau bersusah payah, taat aturan, adalah tugas guru dalam menanamkan berbagai nilai kehidupan kepada siswanya. Hal itulah yang saya lakukan melalui pengajaran matematika. Salam.

Photo by Jeswin Thomas from Pexels

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here