Mengapa mesti mondok? Itu pertanyaan penting yang saya dapat dari anak saya saat ingin mengirimkannya ke sebuah pesantren. Saat itu saya menjawab, “agar akhlak kamu baik”, itu saja keinginan saya saat mengirimkannya ke pondok. Apakah di sekolah biasa akhlaknya tidak akan baik? Tentu saja jawabannyan bisa iya bisa tidak. Di sekolah biasapun bisa berakhlak baik sebagaimana di pesantren juga akan ada yang berakhlak buruk. Namun melihat situasi sekolah saat ini menjadi kekhawatiran tersendiri buat saya. Maraknya pergaulan bebas, minimnyapenghormatan kepada ilmu dan guru serta gaya hidup yang konsumtif membuat saya menjatuhkan pilihan pada pesantren.
Berkaitan dengan akhlak. Di pesantren, pelajaran ini menjadi udara yang dihirupnya, air yang diminumnya. Setiap saat selalu terdengar anjuran untuk menjaga akhlak. Kemudian juga keteladanan dari seorang kiyai dan para ustadz sangat mewarnai jiwa para santrinya. Akhak bukan sekedar teori pelajaran dalam buku akidah akhlak. Lebih dari itu, akhlak adalah jiwa dan nilai seorang manusia. Jika adab hilang, maka datanglah azab (kesengsaraan).
Nah karena saya sudah bulat untuk memondokan anak maka saya melakukan beberapa persiapan pengkondisian. Persiapan mengirimkan anak ke pondok itu harus matang, karena anak akan dikirim ke asrama dia akan mengalami goncangan (culture shock), jauh dari orang tua dan hidup bersama dengan teman-temannya. Hal ini perlu dilakukan agar anak mengetahui manfaatnya dan tak merasa dibuang.
Yang pertama tentu saja niatan memondokan anak perlu direnungkan. Apakah untuk menjaga akhlak anak, atau memperbaiki akhlak yang rusak atau apa? Niatan ini penting direnungkan sebagai sandaran utama pekerjaan kita. Tujuan saya saat memondokan anak di pesantren adalah untuk menjaga anak dari akhlak yang buruk. Membentenginya dan memberi bekal yang tak pernah habis untuk kehidupan dunia dan akhirat.
Kedua, saya mesti berbicara tentang keuntungan mondok di pesantren. Anak perlu dirangsang untuk mau mondok. Karena dulu saya mondok di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogya, maka cerita yang saya bagi ke anak adalah kisah mondok saya di Jogja. Misalnya kisah saya ikutan, organisasi siswa, pramuka, KIR dan juga berbagai kisah di pesantren. Beberapa guru yang dari pesantren juga saya minta bercerita tentang serunya hidup di pesantren. Pokoknya, buat anak tertarik mondok. Kalau dia sudah bilang “Saya mau mondok” nah itu artinya jalan lebar terbuka. Pelihara saja semangat mondok itu hingga dia selesai mondok. Mengapa? Karena justru setelah mondok, semangat dan mentalnya mesti lebih dikuatkan.
Ketiga, Saya membuat tujuan untuk memudahkan pilihan pesantren. Karena saya ingin anak saya berakhlak dan juga mendalami Al Qur’an maka saya akan mengumpulkan informasi tentang pesantren Al Qur’an. Ada beberapa teman yang ingin anaknya mendalami bahasa, maka dia mengumpulkan informasi tentang pesantren bahasa.
Keempat, Saya mengajak anak anak saya mengunjungi beberapa pesantren. Tujuannya agar anak melihat sendiri kondisi pesantren. Saya pernah mengajak anak saya ke beberapa pesantren di Bandung, Jogja dan Tebu Ireng. Karena saat itu saya sudah mempunyai pilihan Pesantren. Maka saya kemudian mempromosikan pesantren pilihan itu kepada anak. Tujuannya tentu agar anak mau mesantren di tempat tersebut, sesuai dengan cita-cita pendalaman Al Qur’an. Kelima, Teruslah berdoa agar anak tidak terpengaruh untuk memilih sekolah lain.
Keenam, Daftarkan di pesantren.
Tulisan selanjutnya : Menghadapi Culture Shock Saat Anak Di Pesantren